Tambahkanlah kepadaku Ilmu ya Tuhanku

Tambahkanlah kepadaku Ilmu ya Tuhanku

Senin, 29 September 2014

Doktrin-Doktrin Aliran Teologi Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
            Kemunculan persoalan aliran-aliran dalam islam pada awalnya dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi perang Siffin yang berakhir pada keputusan tahkim (arbitrase).  Sikap Ali yang menerima tipu muslihat  Amr bin Al-Ash, utusan dari pihak Mu’awiah dalam peristiwa tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah  sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dan mereka inilah yang disebut dengan Khawarij dan menjadi aliran Khawarij.
            Apa yang terjadi antara para sahabat r.a. berupa berbagai peperangan dan perselisihan semuanya berlangsung setelah masa nabi Saw. dan masa khalifah yang tiga. Semuanya itu berlangsung hanya pada masa Ali ibnu Abi Tholib, tidak pada semua masa khalifah Rasyidin, dan lebih khusus lagi hanya terjadi pada sebagian kecil periode kekhalifahannya. Konflik, perselisihan, dan peperangan terjadi karena pada dasarnya mereka mnginginkan kebenaran dan bersemangat membela kebenaran meskiun mesti mengorbankan harta dan jiwa demi terwujudnya kebenaran serta hilangnya kebathilan.
            Mereka yang tetap mendukung Ali disebut Syiah dan menjadi aliran Syiah. Sedangkan sekelompok kaum yang tidak mendukung maupun menolak ke dua golongan tersebut baik kelompok Ali maupun kelompok Muawiyah dan mereka beranggapan segala hukum dikembalikan kepada Allah, kelompok ini disebut dengan Murji’ah. Mutazilah sendiri baru muncul setelah ke tiga golongan ini. Semua golongan ini mempunyai latar belakang dan pemikiran yang berbeda-beda bahkan bertolak belakang. Sasaran perbedaan yang pertama mengenai politik islam berimbas kepada permasalahan akidah, bahkan ketauhidan sendiri menjadi ajang perdebatan.

B.                 Rumusan Masalah
1.             Menjelaskan pengertian Syi’ah dan doktrin masing-masing sekte.
2.             Menjelaskan latar belakang kemunculan aliran khawarij dan muri’ah dan doktrin-doktrinya.
3.        Menjelaskan Asal-Usul kemunculan aliran Qadariyah dan Jabariyah, serta Tokoh-tokoh pemukanya dan doktrin-doktrinnya.
4.      Menjelaskan Latar Belakang Kemunculan Aliran Mu’tazilah dan Lima Ajaran Dasarnya (Al-Ushul Al-Khamsah).
5.     Menjelaskan Asal-Usul kemunculan Ahlusunnah (Al-Asy’ari dan Al-Maturidi) serta Tokoh-tokoh pemukanya dan doktrin-doktrinnya.
  
C.                Tujuan
1.     Mengetahui pengertian Syi’ah dan doktrin masing-masing sekte.Menjelaskan latar belakang kemunculan aliran khawarij dan muri’ah dan doktrin-doktrinya.
2.      Mengetahui Asal-Usul kemunculan aliran Qadariyah dan Jabariyah, serta Tokoh-tokoh pemukanya dan doktrin-doktrinnya.
3.           Mengetahui Latar Belakang Kemunculan Aliran Mu’tazilah dan Lima Ajaran Dasarnya (Al-Ushul Al-Khamsah).
4.        Mengetahui Asal-Usul kemunculan Ahlusunnah (Al-Asy’ari dan Al-Maturidi) serta Tokoh-tokoh pemukanya dan doktrin-doktrinnya.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Syi’ah
1.      Pengertian
            Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW atau irang disebut sebagai ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahl-bait. Merekamenolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.[1])
            Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama kalinya ditunjukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad SAW, Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu diantaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqad bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.[2])
                Pendapat yang paling popular tentang lahirnya golongan Syiah adalh setelah gagalnya perundingan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Siffin. Perundingan ini diakhiri dengan tahkim atau arbitrasi.[3]) Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka itu disebut golongan Khawarij atau orang-orang yang keluar, sedangkan sebagian besar pasukan yang tetap setia kepada Ali disebut Syiah atau pengikut Ali.
2.      Sekte-Sekte Aliran Syi’ah
Beberapa sekte aliran Syiah, di antaranya adalah sebagai berikut:
a.       Sekte Kaisaniyah
            Kaisiniyah adalah sekte Syiah yang mempercayai Muhammad bin Hanafiah sebagai pemimpin setelah Husein bin Ali wafat. nama Kaisaniyah diambil dari nama seorang budak Ali yang bernama Kaisan.
b.      Sekte Zaidiah
            Sekte ini mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin sebagai pemimpin setelah Husein Bin Ali wafat. dalam Syiah Zaidiyah, seseorang dapat diangkat sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria. Kelima kriteria itu adalah keturunan Fatimah binti Muhammad saw. berpengatuhan luas tentang agama, hidupnya hanya untuk beribadah, berjihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata, dan berani. Selain itu sekte ini mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
c.       Sekte Imamiyah
            Sekte ini adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadinpemimpin atau imam sebagai pengganti beliau dengan petunjuk yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, sekte ini tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sekte Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan terbesar adalah golongan Isna Asy’ariyah ata Syiah Duabelas. Golongan kedua terbesar adalah golongan Ismailiyah.
B.     Khwarij dan Murji’ah
Khawarij
1.      Latar Belakang Kemunculan
            Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak.[4]) Ini yang mendasari Syahrastani untuk menyebut khawarij terhadap orang yang memberontak imam yang sah.[5]) ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Tholib,[6]) lalu menolaknya. Ada pula pendapat yang mengatakan pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari Surat An-Nisa’,yang didalamnya disebutkan: “ Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya ”. Dengan demikian kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.[7])
                Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah sesuatu sekte/ kelompok/ aliran pengikut-pengikut ‘Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali bin Abi Thalib dalam menerima arbitrase dari akal licik Mu’awiyah karena terdesak dalam perang Shiffin antara keduabelah pihak sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang Khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.[8]) Nama lain Hurariyah dari kata Harura.[9]) Sebuah tempat dekat Kufah, Irak. Di sini berkumpul sebanyak 12.000 orang, yang memisahkan diri dari Ali dan mengangkat Abdullah bin Wahab ar-Rasyidi sebagai pemimpin mereka. Ali berusaha membujuk mereka kembali bergabung. Mereka menolak kecuali Ali mengakui bahwa ia telah kafir dan segera harus bertaubat serta membatalkan tahkim.[10]) Mereka menuduh ‘Ali tidak menyelesaikan masalah berdasarkan hukum Allah yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Karena itu ‘Ali kafir,[11])

2.      Khawarij dan Doktrin-Doktrin Pokoknya
            Di antara doktrin-doktrin pokok khawarij adalah sebagai berikut :
a.       Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam
b.      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab
c.       Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau harus melakukan kezaliman.
d.      Khalifah sebelum Ali r.a (Abu Bakar, Umar dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah 7 tahun dari masa kekhalifahannya, Utsman dianggap telah menyeleweng.
e.       Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), beliau dianggap telah menyeleweng.
f.       Menjatuhkan hukum musyrik kepada anak-anak kaum musyrikin, dan bahwa mereka juga kekal di dalam neraka bersama orang tuanya
g.      Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.[12])
h.      Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.[13])
i.        Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Bahkan yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan juga.uruk harus masuk ke neraka
j.        Boleh membunuh perempuan dan anak-anak kaum muslimin yang berbeda pendapat dengan mereka.
k.      Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (negara Islam).[14])
l.        Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
m.    Adanya Wa’ad dan Wa’id (orang baik harus masuk surga, orang jahat harus masuk neraka).
n.      Adanya Amar ma’ruf Nahi Munkar
o.      Memalingkan yat-ayat al-Qur’an yang tampak mutasayabihat.
p.      Quran adalah makhluk
q.      Manusia bebas memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan.


Murji’ah
1.      Asal-Usul Kemunculan Murji’ah
            Golongan ini mucul di tengah-tengah memuncaknya perdebatan mengenai pelaku dosa besar: apakah pelaku dosa besar masih tetap beriman ataukah tidak? Menurut Khawarij orang itu menjadi kafir, sedangkan menurut Mu’tazilah orang itu bukan mukmin, melainkan hanya Muslim.[15])
            Murji’ah sebagai suatu aliran teologi dalam Islam, merupakan reaksi terhadap paham-paham yang dilontarkan oleh aliran al-khawarij, suatu paham dalam teologi Islam yang dikembangkan oleh segolongan pengikut Ali bin Abi Thalib, yang tidak menyetujui gencatan senjata dalam perang Shiffin melawan Muawiyah. Kaum al-Khawarij ini pada mulanya menyokong ‘Ali, kemudian berbalik memusuhinya. Kaum al-Khawarij juga memusuhi Mu’awiyah, bahkan mengkafirkan siapa saja yang terlibat dalam peristiwa tahkim antara ‘Ali dan Mu’awiyah. Mereka semua dianggap telah melakukan dosa besar yang berarti telah keluar dari Islam. Dengan demikian, mereka menjadi kafir dan harus diperangi. Golongan al-Khawarij ini keras dalam aturan keberagamaan, pandangan hidup mereka senantiasa disesuaikan dengan hukum-hukum Allah Doktrin mereka ialah barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, termasuk orang kafir. Mereka menganggap dirinya satu-satunya golongan yang kuat dalam memegang semua ajaran dan hukum Islam.[16])
Dalam pertentangan semacam ini, muncul golongan al- Murji’ah yang ingin bersikap netral dan tidak mau turut dalam praktik kafir, mengkafirkan diantara golongan yang bertentangan itu. Kaum al-Murji’ ah tidak mengeluarkan siapa yang sebenarnya bersalah. Mereka memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan mereka kepada Tuhan di akhirat kelak.[17])
            Sebgaimana halnya dengan kaum khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khalifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah ‘Usman Ibn ‘Affan mati terbunuh.[18]) Namun dari lapangan politik mereka segera pula berpindah ke lapangan teologi. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.[19])
            Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah, artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersangketa, yakni ‘Ali dan Mu’awiyah serta masukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.[20]) Harun Nasution secara garis besar menglasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim.[21]) Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-rasul-Nya serta apa saja yang datang dari-Nya secara keseluruhan namun dalam garis besar. Iman ini todak bertambah dan tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bim Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis.[22])
            Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan sebagai berikut.[23])
a.       Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan pra pengikutnya, berpendapat iman dan kufur bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b.      Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan.
c.       Yunusiyah dan Ubaidiyah, berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politheist).
d.      Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau tempat lain.

2.      Doktrin-Doktrin Murji’ah
            Ajaran pook Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasiakan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis.[24])
            Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:[25])
a.       Penangguhan keputusan terhadap ‘Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b.      Penangguhan ‘Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
c.       Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d.      Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
            Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
a.       Menunda hukuman atas ‘Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat.
b.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c.       Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.
d.      Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.


C.    Qadariyah dan Jabariyah
Qadariyah
1.      Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
            Orang yang pertama memperkenalkan paham al-Qadariyah adalah SUSAN. Dia penduduk Irak, beragama Nashrani yang masuk Islam kemudian berbalik Nashrani lagi. Dari orang inilah yang pertama kalinya Ma’bad bin Khalif al-Juhani al-Basri dan Ghailan al-Dimasyki memperoleh paham tersebut.[26])
            Motif timbulnya paham al-Qadariyah ini, menurut hemat penulis disebabkan oleh dua faktor.[27]) Pertama, faktor ekstern yaitu agam Nashrani, jauh sebelumnya mereka telah membincangkan tentang qadar Tuhan dalam kalangan mereka. Kedua, faktor intern yaitu reaksi terhadap paham al-Jabariyah  dan merupakan upaya proses terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayah yang bertindak atas nama Tuhan dan berdalih pada takdir Tuhan.
            Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. [28])  Dari pengertian tersebut nama Qadariyah dipakai untuk satu aliran yang menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan  berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[29])
            Masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham Jabariyah, yang bersifat sederhana, mereka hidup dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka measa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan suasana padang pasir, mereka banyak bergantung pada kehendak natur. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalistis.[30])
            Karenanya kehadiran Qadariyah menimbulkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Adanya kegincangan dan sikap menentang paham qadariyah ini dapat kita lihat dalam hadis-hadis mengenai qadariyah, umpamanya:

”Kaum Qadariyah merupakan Majusi umat Islam,” dalam arti golongan yang sesat.[31])
            Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.[32])

2.      Doktrin-Doktrin Qadariyah
            Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya.[33]) Salah seorang pemuka  qadariyah  yang lain, An-Nazza, mengemukakan pendapat bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.[34])
Qadariyah adalah aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur’an dan hadis sendiri. Al-Qur’an dan hadis mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata. Mereka berpendapat bahwa kemauan manusia itu bebas, manusia berhak menerima pujian dari pahala atas perbuatannya yang baik dan menerima celaan dan hukum atas perbuatannya yang salah atau dosa.[35])
            Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran Qadariyah itu ialah:
a.       Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mikmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.[36])
b.      Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia sendirilah kata mereka, yang menciptakan segala amal perbuatannya dan karena itulah maka manusia akan menerima balasan baik (surga) atas segala amalnya yang baik, dan menerima balasan buruk (siksa neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa. Karena itu pula, maka Allah SWT. Berhak disebut adil.
c.       Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa atau Satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azaly, seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar melihat dan yang bukan dengan zat-Nya sendiri. Menurut mereka, Allah SWT. Itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan melihat dengan zat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang mebambah atas zat Allah.
d.      Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada memiliki sifat yang yang menyebabkannya baik atau buruk.
            Dalam paham Qadariyah Tuhan sama sekali tidak ada hubungannya dengan manusia sekarang, dan bahkan Tuhan tidak tahu sebelumnya apa yang akan dikerjakan oleh manusia. Setelah manusia mengerjakan perbuatannya barulah Tuhan mengetahui apa yang dikerjakan manusia itu.[37])
            Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa al-Qadariyah adalah salah satu paham yang menyatakan bahwa manusia dalam menentukan perbuatannya, memiliki kebebasan kekuasaan. Perbuatannya tersebut diwujudkan atas kehendak dan dayanya sendiri. Oleh karena itu pantaslah kiranya, jika orang mendapat pahala atau siksa. Namun demikian, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan perbuatan-perbuatannya. Sebab, mereka dibatasi oleh adanya hukum alam (sunnatullah), dan tak dapat sangkal lagi bahwa hukum alam itu adalah kehendak dan kekuasaan Tuhan.[38]) Paham al-Qadariyah ini mulai pertama dicetuskan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyki. Paham ini digelarkan sebagai sanggahan terhadap paham al-Jabariyah yang dibina oleh Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Shafwan.[39])


Jabariyah
1.      Asal-Usul Pertumbuahn Jabariyah
            Aliran Jabariyah, jalan pikirannya kebalikan dari jalan pikiran Qadariyah. Orang pertama dari aliran Jabariyah ialah Jaham bin Shafwan, sehingga karena golongan ini suka juga disebut jahamiah.[40])
            Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah bersal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[41]) Lebih lanjut Asy-Syahrastan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[42])
            Berkaitan dengan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[43])

2.      Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
            Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, ekstrim dan  moderat.[44]) Di antara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini.
a.       Ja’ad bin Dirham
            Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah, Ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), Ia menjabat sebgai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.[45])
            Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
a)      Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
b)      Surga dan neraka tidak kekal.
c)      Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
d)     Kalam Tuhan adalah makhluk.
e)      Tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah
f)       Jaham juga mengingkari Allah dapat dilihat pada hari kiamat.

b.      Ja’d bin Dirham
            Ia seorang bekas budak (mawla) Bani Hakam, ia tinggal di Damsyik.[46]) Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.[47])
            Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut.[48])
a)      Al-Quran itu adalah makhluk.
b)      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
c)      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
           
            Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah berikut ini.
a.       An-Najjar
            Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah:
a)      Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ary.[49])
b)      Tuhan tidak bisa dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.[50])

b.      Adh-Dhirar
            Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang diserakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan dan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya.[51]) Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
            Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat malalui indera keenam. Ia juag berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[52])

D.    Mu’tazilah
1.      Asal-Usul Kemunculan Mu’tazilah
            Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahakan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[53]) Istilah Mu’tazilah merujuk pada dua golongan. Mu’tazilah dari kata kerja yakni: ‘Azala: Artinya berpisah. Mereka adalah pengikut dari Abu Husail bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan Basri.
            Beberapa versi tentang pemberian Nama Mu’tazilah diantaranya pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan gurunya dalam majelis di mesjid Basrah. Datanglah seorang yang bertanya tentang orang berdosa besar. Ketika Hasan Al-Basri masih berpikir, Secara spontan Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi di antara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Pendapat ini berlainan secara drastis dengan gurunya. Karena pendapat ini ia pun maenjauhkan dan mengasingkan diri dari Hasan Al-Bashri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan pengikutnya. Dalam peristiwa ini Hasan Al-Basri berkata “ I’TAZALA ‘ANNA WASHIL” artinya: Washil telah memisahkan diri dari kita.[54]) Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada preistiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.[55])
            Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Washil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, di usir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya karena ada pertikaian di antara mereka tentang tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu, golongan ini dinamakan Mu’tazilah.[56])
            Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan.[57]) Lawan Mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan Al-Qadariyah karena mereka menganut faham free will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Selain itu, mereka menamainya juga Al-Mu’attilah karena golongan Mu’tazilah bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan. Mereka juga menamainya dengan wa’diah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.[58])

2.      Al-Ushul Al-Khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
            Dalam Alur pikirnya, golongan al-Mu’tazilah berpegang kepada lima ajaran pokok yang disebut Al-Ushul Al-Khamsah. Menurut Abu al-Hasan al-Khayyat dalam kitab al-Intisar mengatakan. “Tidak seorang pun berhak sebagai penganut Mu’tazilah sebelum ia mengakui ajaran pokok tersebut, yaitu al-Tauhid, al-‘Adl (keadilan), al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman), al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi antara dua posisi) dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar (menganjurkan berbuat baik dan melarang yang buruk). Jika ia telah mengakui semuanya, ia baru dapat disebut penganut Mu’tazilah.[59])
            Berikut akan dijelaskan lima ajaran pokok Mu’tazilah:
a.       Al-Tauhid (Pengesaan Tuhan)
            Al-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhan lah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang Qadim. Bila ada yang Qadim lebih dari satu, maka telah terjadi Ta’addud al-Qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[60])
            Untuk memurnikan kesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui, dan sebagainya. Namun, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang Qodim, berarti ada dua yang Qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Washi bin Atha, seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan: ”Siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan”. Ini tidak bisa diterima karena perbuatan syirik.[61])
                Atas dasar prinsip di atas, golongan Mu’tazilah menetapkan bahwa Allah mustahil dapat dilihat pada Hari Kiamat walaupun dalm siurga[62], karena hal itu berarti Allah berjasad dan berarah. Mereka juga menetapkan bahwa sifat-sifat Allah bukanlah sesuatu yang lain dari Dzat-Nya sendiri. Jika tidak demikian maka menurut pendapat mereka akan terjadi Ta’addud al-Qudama (yang qadim menjadi berbilang). Dengan dasar tauhid itu juga mereka menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (diciptakan) Allah. Penetapan ini dimaksudkan untuk mencegah berbilangnya yang Qadim dan menafikan sifat al-Kalam (berkata-kata) dari Allah yang diyakini banyak penganut paham Mu’tazilah.[63])
b.      Al-‘Adl (Keadilan)
            Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-Adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukan kesempurna. Karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini betujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena ala semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (ash-shalah) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-Nya.[64]) Mereka menetapkan bahwa manusialah yang yang menciptakan perbuatan-perbuatannya dan bahwa Allah mustahil bersifat lemah.[65]) Dengan begitu mereka mengatakan Bahwa Allah-lah yang menciptakan dan menetapkan qudrah itu terhadap manusia. Jadi, Dialah yang memberinya, dan Dia sendiri pula yang memiliki qudrah yang sempurna untuk menarik kembali apa yang diberi-Nya itu. Sesungguhnya Allah memberi qudrah kepada manusia adalah untuk menyempurnakan taklif (beban tanggung jawab).[66])
            Gambaran tentang konsep al-‘adl di kalangan al-Mu’tazilah diungkapkan oleh al-Mas’udi, antara lain bahwa Allah tidak suka pada keburukan . Ia tidak menciptakan perbuatan manusia tetapi manusia itu mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu dengan kekuasaan yang dijadikan Allah pada diri mereka. Allah tidak menyuruh kecuali dengan sesuatu yang Ia kehendaki dan tidak melarang kecuali hal-hal yang tidak ia sukai. Ia melakukan sesuatu yang baik yang diperintahkan-Nya untuk dilakukan dan berlepas diri dari setiap yang tidak baik yang memang dilarang-Nya.[67])
            Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain berikut ini.[68])


a)      Perbuatan Manusia
            Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh yang baik, bukan yang buruk.
b)      Berbuat Baik dan Terbaik
            Dalam istilah Arabmya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan Penjahat dan Pengeniaya, sesuatu tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada baik kepada orang lain berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak Mahasempurna.
c)      Mengutus Rasul
            Mengutus Rasul kepda manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini.
1)      Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
2)      Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. Asy-Syu’ara [26]:29). Cara tebaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan Rasul.
3)      Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain, selain mengutus Rasul.[69])


c.       Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
            Ini adalah ajaran yang yang sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas.Tuhan Maha yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri.[70]) Prinsip ketiga yang merupakan janji Allah tentang pahala dan dosa adalah benar-benar terjadi. Dalam ajaran ini dijelaskan bahwa orang yang berbuat baik akan diberi pahala, sedangkan yang berbuat dosa besar akan mendapat siksa.[71]) Di akhirat tidak akan ada Syafaat sebab syafaat berlawanan dengan Al-Wa’d wa al-Wa’id.[72]) Perbuatan dosa tidak diampuni tanpa bertaubat sebagaimana pahala tidak diharamkan terhadap orang yang berbuat baik.[73]) Tidak ada harapan lagi bagi pendurhaka, kecuali ia bertaubat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa kecil mungkin Tuhan akan mengampuninya.[74])
            Dasar ketiga ini mereka gunakan untuk menolak paham Murji’ah yang mengatakan bahwa perbuatan maksiat tidak menimbulkan kemudharatan kepada orang yan beriman, sebagaimana perbuatan taat tidak memberi manfaat bagi orang yang kafir, karena jika paham itu benar, berarti janji Allah untuk menyiksa pelaku kejahatan menjadi sia-sia saja. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka (kaum Murji’ah) katakan.[75])

d.      Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Berada di antara Dua Posisi)
            Ini ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebagai kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu mukmin dan dosa sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan, bisa jadi dosa tersebut diampuni Tuhan. Adapun menurut pendapat Wasil bin Atha (pendiri mazhab Mu’tazilah) orang tersebut berada di antara dua posisi (Al-Manzilah bain al-Manzilatain). Karena ajaran inilah, Wasil dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus memisahkan diri (i’tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.[76])
            Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik. Izutsu, dengan mengutip Ibn Hazm, menguraikan pandangan Mu’tazilah sebagi berikut, “ Orang yang melakukan dosa besar disebut fasik. Ia bukan mukmin bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).[77])
                Uraian tentang orang yang berbuat maksiat (pendurhaka kepada Tuhan) yang ditempatkan di antara orang yang beriman dan orang yang kafir telah dijelaskan oleh Syahrastani dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal sebagai berikut, ”Cara menetapkan prinsip itu ialah dengan uraian Wasil bin Atha’: Iman adalah suatu gambaran tentang macam-macam kebaikan. Jika kebaikan itu himpunan dalam diri seseorang, maka ia disebut mu’min, dan itu adalah nama yang menunjukan pujian. Orang yang fasik tidak sempurna kebaikannya, sehingga ia tidak berhak mendapat nama pujian dan tidak pula deinamakan mukmin. Akan tetapi ia tidak juga kafir, karena ia mengucapkan syahadatain dan pada dirinya terdapat berbagai kebaikan yang tidak bisa dipungkiri. Karena itu, jika ia mati tanpa bertaubat dari dosa besarnya,ia menjadi ahli neraka dan kekal di dalamnya, sebab di akhirat hanya ada dua kelompok: sekelompok di surga dan sekelompok lagi dari neraka. Namun, siksaan yang dirasakannya di neraka lebih ringan.[78])
            Mu’tazilah, disamping mengakui bahwa orang yang berbuat maksiat termasuk ahl al-qiblah dan berada di antar dua tempat,  juga berpendapat bahwa orang tersebut boleh saja dinamai Muslim untuk membedakannya dari dzimmi, bukan untuk memuji dan memuliakannya, sebab ketika di dunia orang itu beramal sepertiu amalan orang-orang Islam, karenanya ia dituntut untuk bertaubat dan diharapkan mendapat hidayah. Dalam masala ini Ibn Abi al-Hadid, seorang tokoh Mu’tazilah  yang sangat fanatik, berkata, “Walaupun kami tidak berpendapat bahwa pelaku doswa besar dapat dinamai Mukmin atau Muslim, tetapi kami membenarkan untuk memakaikan nama-nama itu kepada mereka dengan tujuan untuk membedakan mereka dari orang dzimmi dan penyembah berhala. Alasan itulah yang menunjukan bahwa nama itu bukan untuk memuji dan memuliakan mereka”.[79])
e.       Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar (Menyuruh Berbuat Baik dan Melarang Kemungkaran)
            Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejehatan. Ajaran ini juga lebih menitikberatkan pada aspek fiqh ketimbang teologi. Menurut ajaran ini Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar adalah wajib dilakukan oleh orang yang beriman, apabila memenuhi syarat-syaratnya. Seperti dijelaskan oleh seorang tokohnya, Abdul al-Jabbar, berikut ini.
a)      Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang sesuatu yang ma’ruf dan yang dilarang itu memang perbuatan munkar.
b)      Ia mengetahui bahwa kemungkaran itu nyata dilakukan orang.
c)      Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa mudarat yang lebih besar.
d)     Ia mengetahui atau setidaknya menyangka bahwa usahanya akan berhasil.
e)      Ia mengetahui atau setidaknya sudah mengira bahwa apa yang ia lakukan tidak akan membahayakan bagi dirinya atau hartanya.[80])
            Pada dasarnya, kaum al-Mu’tazilah berpendapat bahwa kegiatan itu dilakukan dengan seruan saja, namun jika memang diperlukan dapat dengan kekerasan. “ Sejarah membuktikan bahwa mereka pernah memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka”.[81])
            Prinsif kelima adalah perintah melakuakan kebijakan dan melarang berbuat kejahatan dan kemungkaran. Ini berarti harus melakukan perintah dan larangan Allah hingga merupakan satu kewajiban yang tidak boleh disia-siakan dan tidak diperdulikan. Soal ini harus diloakukan setiap mukmin sebagai satu kewajiban pribadi atau “fardhu ain” menurut kemampuan masing-masing. Maka siapa pun manusia yang tidak melakukannya hendak diluruskan jalan hidupnya dalam arti harus ditentang dengan melakukan jihad terhadap dirinya yang sifatnya sama dengan melakukan jihad terhadap orang kafir atau fasik.[82])
E.     Ahlusunnah (Al-Asy’ari dan Al-Maturidi)
            Menurut Harun Nasution Term ahli Sunnah wal Jama’ah ini kelihatannya timbul sebagai reakasi terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu.[83]) Golongan ini muncul pada akhir abad ke III Hijriyah yang kepalai oleh dua orang ‘ulama besar dalam Ushuluddin, yaitu Syeikh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al-Maturidi.[84])
            Adapun ungkapan Ahlusunnah (sering juga disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus.[85]) Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaiman Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah. [86])
            Selanjutnya, term Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.[87])

Al-Asy’ari
1.      Riwayat Singkat Al-Asy’ari
            Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/ 935M.[88]) Ia adalah cucu Abu Musa al-Asy’ari, sahabat Nabi. Abu Musa dikenal sebagai juru damai yang mewakili pihak Ali dalam peristiwa arbitrase yang menggoncangkan umat islam. Pada mulanya Abu Hasan Al-Asy’ari adalah penganut paham al-Mu’tazilah. Ia adalah murid al-Jubba’i, seorang tokoh al-Mu’tazilah terkemuka di Bashrah. Integritas al-Asy’ari dalam paham al-Mu’tazilah diakui oleh gurunya sehingga al-Jubba’i mempercayakan kepada al-Asy’ari untuk melakukan debat dengan pihak lain.[89])
            Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid Bashrah bahwa dirinya telah menunggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya.[90]) Menurut Ibnu Asakir, yang melatar belakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 di bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan oleh beliau.[91])
            Menurut al-Subhi, karena al-Jubba’i tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan-pertanyaan al-Asy’ari yang dianjurkan kepadanya. Diskusi tersebut diungkapkan sebagai berikut.
            Al-Asy’ari: ”Bagaimana kedudukan orang mukmin, kafir, dan anak kecil di            akhirat.”
            Al-Jubba’i: “Yang mukmin mendapat kedudukan yang baik di dalam surga, yang kafir masuk neraka dan anak kecil terlepas dari neraka.”
Al-Asy’ari:”Kalau yang kecil menginginkan tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu.”
Al-Jubba’i:”Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa itu.”
Al-Asy’ari:”Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: Itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku untuk terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang mereka lakukan.”
Al-Jubba’i: Allah akan menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu, Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab.”
Al-Asy’ari:Seandainya yang kafir berkata: “Ya rabbi, Engkau mengetahui masa depan anak itu, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak itu, sebagaimana Engkau mengetahui masa depanku. Kenapa Engkau tidak memelihara kepentinganku sebagaimana Engkau memelihara kepentingannya.
            Menghadapi pertanyaan ini al-Jubba’i terpaksa diam.[92])
            Dalam keadaan ini Al-Asy’ari dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa Al-Asy’ari mengasingkan diri di rumah selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke mesjid, naik mimbar dan menyatakan:
“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya: Oleh karena itu saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.” [93])

2.      Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari
            Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualisasi formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionois terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.
            Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini.
a.       Tuhan dan sifat-sifatnya
            Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.[94])
            Pendapat Al-Asy’ari ini bertolak belakang dengan pendapat Al-Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat. Bagi Al-Mu’tazilah apa yang disebut sifat sebenarnya adalah dzat (esensi) Tuhan itu sendiri. Abu Huzail al-Allaf, seorang tokoh al-Mu’tazilah, mengatakan bahwa Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah dzat-Nya. Tuhan hidup dengan hayat-Nya adalah dzat-Nya.[95])
            Menjawab hal tersebut, al-Asy’ari mengatakan Allah tidak mungkin mengetahui dengan pengetahuan-Nya, sebab apabila Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah dzat-Nya, berarti Allah adalah pengetahuan. Allah bukan pengetahuan, tetapi Yang Mengetahui dan Allah mengetahui dengan sifat ilmu-Nya. Selanjutnya al-Asy’ari mempertanyakan, apakah layak kalau kita berdoa: “Ya’ilma Allah (wahai pengetahuan Allah), ampunilah dosa-dosaku dan berilah rahmat kepadaku.”[96])
b.      Kebebasan dalam Berkehendak (free-Will)
            Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut paham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[97]) Al-Asy’ari membedakan anatara khaliq dan kasb. Al-Asy’ari mengemukakan arti iktisab adalah sesuatu yang terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan timbul. Sedangakan kasb atau perolehan mengandung arti keaktifan dan dengan demikian manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi karena kasb adalah ciptaan Tuhan, ini menghilangkan arti keaktifan itu sehingga manusia bersfat pasif dalam perbuatannya.[98]) Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasabih) dengan izin Allah.[99]) Manusia juga mempunyai pilihan ikhtiar , tapi manusia dipaksa atas pilihannya. Tugasnya, manusia dipaksa memilih sesuatu yang sesuai dengan kemampuannya yang disediakan Allah pada dirinya.[100])
c.       Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
            Dalam hal ini Al-Asy’ari membedakan antara fungsi akal dan fungsi wahyu. Fungsi akal adalah untuk mengetahui hal-hal yang kongkret/ masalah fisika saja, Ia tidak berkuasa mengetahui hal-hal yang bersifat abstrak atau metafisik. Terutama dalam hal Ketuhanan ; akal tidak mampu untuk mengetahui tugas-tugas kewajiban manusia terhadap Tuhannya. Ia tidak mampu untuk mengetahui hukum-hukum yang baik serta yang buruk, juga tentang mana yang wajib dikerjakan dan mana yang mesti ditinggalkan. Sedang fungsi wahyu sangat luas dan tidak terbatas. Ia pemberi informasi kepada manusia tentang hal-hal yang bersifat metafisik, menyingkap rahasia yang bersifat abstrak dan gaib bagi manusia.[101]) Dalam hal ini pendapat Al-Asy’ari terdapat perbedaan yang signifikan dengan Mu’tazilah, Al-Asy’ari lebih mengutamakan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal. Begitu juga dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan, Al-Asy’ari bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.[102])
d.      Qadimnya Al-Qur’an
            Mengenai Al-Qur’an, Mu’tazilah menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Hasyawiyah mengatakan bahwa Al-Qur’an yang merupakan potongan huruf, benda dan warna yang digunakan untuk menulisnya serta isi yang terkandung di dalamnya, tidak diciptakan.[103]) Dalam hal ini Al-Asy’ari berpendapat Al-Qur’an itu Qadim. Adapun yang tertulis dalam dalam Mas-haf, yang pakai huruf dan suara adalah gambaran dari Al-Qur’an yang Qadim itu.[104]) Imam Abu zahrah menjelaskan bahwa potongan-potongan, huruf, warna, dan bahannya adalah makhluk.[105])
            Dalam pandangannya tentang Al-Qur’an , Asy’ari membagi dua pengertian yaitu pengertian majasi dan pengertian nafsi. Pengertian Al-Qur’an yang mempunyai arti majasi adalah berupa Qur’an yang ada pada manusia, mempunyai sifat yang baru, dapat dibaca, ditulis dan dibakar. Sedang pengertian dalam arti nafsi; Al-Qur’an itu bersifat abadi, yaitu sesuai dengan Qadimnya Tuhan. Jadi kalamullah yang sebagai sifat Tuhan itu tentulah juga abadi.[106])
e.       Melihat Allah
            Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat,[107]) Atas dasar firman Allah Surah Al-Qiyamah (75) ayat 22-23. “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka meliaht.”
            Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[108]) Seluruh Ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah Asy’ari telah bersepakat atas kemungkian melihat Allah di Akhirat, tidak pula kita membayangkan tempat kita melihat Tuhan.[109])
f.       Keadilan
            Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Dalam pandangan Mu’tazilah Allah harus berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada suatu pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia kedalam neraka tidaklah Ia bersifat zalim.[110]) Dengan demikian ia juga tidak setuju dengan ajaran Mu’tazilah tentang al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman).
g.      Kedudukan Orang berdosa
            Al-Asy’ari juga menentang tentang Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Berada di antara Dua Posisi). Mu’tazilah mengatakan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir.[111]) Sekalipun tetap beriman dan taat, tidak akan keluar dari neraka selama ia belum bertaubat dari dosa besarnya itu. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan dari kufr. Menurut Al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasik, maka pahala atau siksanya tergantung pada kehendak Allah. [112])
            Apabila pembuat dosa besar itu meninggal sebelum sempat bertaubat hukumnya diserahkan kepada Allah, dengan beberapa kemungkinan.
a)      Allah mengampuni pelaku dosa besar tersebut dengan rahmat-Nya sehingga pelaku dosa besar itu dimasukkan ke surga.
b)      Pelaku dosa besar itu mendapat syafaat dari Nabi.
c)      Allah akan menghukum pelaku dosa besar itu ke dalam neraka sesuai dengan dosa yang dilakukannya, kemudian Allah memasukkannya ke dalam surga.
            Dengan demikian, menurut Al-Asy’ari tidak mungkin orang yang berbuat dosa besar kekal di dalam neraka karena ia tetap beriman.[113])

Al-Maturidi
1.      Riwayat Singkat Al-Maturidi
            Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 H / 847-861 M.[114]) Al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama Al-Maturidiyah.[115])
            Dalam aliran Maturidiyah peranan akal/rasio memiliki peranan yang penting di dalam menyusun konsep teologinya dan di dalam memahami ajaran-ajaran agama. Akal/rasio menurut aliran ini dapat membantu manusia untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an, dan hal-hal lain yang masuk ruang lingkup teologi.[116]) Oleh karena itu antara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh Al-Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah.[117])

2.      Doktrin-Doktrin Teologi Al-Maturidi
a.       Akal dan Wahyu
            Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.[118])
            Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.[119])
            Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.[120])
            Al-Maturidi membagi kaitan sesuatudengan akal pada tiga macam, yaitu:
a)      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
b)      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
c)      Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[121])
b.      Perbuatan Manusia
            Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptraan Tuhan kerena seegala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaanya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengaharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat  Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya –daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian, karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan, Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.[122]) Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-Maturidi membawa faham Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan)Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada daam kehendak Tuhan, tetapi ia dapat memilih yang diridhain-Ny. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi ia tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian, berarti manusia dalam faham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.[123])
            Al-Asy’ari menyebutkan daya yang diciptakan, tetapi ia tidak jelaskan apakah daya itu merupakan daya manusia, seperti dijelaskan Mu’tazilah, ataukah daya Tuhan seperti disebut Al-Asy’ari. Berpegang kepada pendapatnya bahwa daya adalah diciptakan dalam diri manusia dan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya, daya untuk berbuat itu tak boleh tidak mestilah daya manusia, karena orang tidak dapat memandang sesuatu perbuatan sebagai perbuatannya sendiri, kalau bukanlah ia sendiri yang mewujudkan perbuatan itu.[124])

c.       Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
            Telah di uraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalm wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata. Hal ini karena qudrat Tuhan tidak sewenang-sewenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.[125])
d.      Sifat Tuhan
            Dalam masalah ketuhanan, al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat yang berbeda dengan sifat makhluk. Allah mengetahui sesuatu dengan ilmu-Nya, tetapi tidak seperti ilmu manusia (Allah Alim bi-ilm la ka-al-ulum). Allah berkuasa dengan dengan kekuasaan-Nya tetapi tidak seperti kekuasaan manusia.[126])
            Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara Al-Asy’ari dan al-Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan bukan mengetahui dengan zat-Nya, tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan berkuasa bukan dengan zat-Nya.[127]) Walaupun begitu, pengertian al-Maturidi dengan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri, sedangkan al-Maturidi, berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya.[128])


e.       Melihat Tuhan
            Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberikan oleh Al-Qur’an, antara lain firman Allah dalam Surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
            Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuham kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, kareana Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihatb Tuhan, kelak di akhirat tidak dalm bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadilan di dunia.[129])
f.       Kalam Tuhan
            Bagi Al-Maturidi, karena Tuhan mempunyai sifat maka pendapatnya mengenai kalam Allah bersifat qadim sama dengan sifat-Nya. Yang dinmakan kalam Allah itu bagu al-Maturidi sama dengan Al-As/ariyah yaitu arti atau makana yang abstrak dan tidak tersusun. Sabda bukan huruf, bukan suara, jadi hanya dalam arti kiasan, artinya yang dibalik tersusun itu adalah kekal. Adapun yang tersusun yang disebut Al-Qur’an bukanlah sabda Tuhan, tapi merupakan tanda dari sabda Tuhan.[130])
            Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca: sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yamg tersususun dari huruf dan suara adalah baharu (hadis) bukan sebagai sebuatan pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an. Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan suatu perantara.[131])
g.      Perbuatan Manusia
            Dalam soal perbuatan-perbuatan manusia, Al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. [132])
            Menurut Al-Maturidi setiap manusia memilih kebebasan dalam setiap gerak-geriknya. Sebagai pendapatnya ini perbuatan manusia yang jelek dan yang buruk sama sekali terlepas dari kekuasaan Allah, sebab jika perbuatan mereka (baik dan buruk) tersebut terikat kepada Allah berarti manusia di dalam berbuat yang kejahatan juga melibatkan campur tangan Allah. Hal ini berarti bahwa manusia dalm berbuat jelek memang sudah dikehendaki oleh Allah, maka Allah menganiaya makhluk-Nya.[133])
h.      Pengutusan Rasul
            Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia , seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk sera kewajiban lainnya dari syari’at yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran untuk mengetahi kewajiban-kewajiban trsebut. Jadi, pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul berarti manusia telh membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.[134])
i.        Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
            Menurut aliran ini seseorang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjadikan akan memberikam balasan kepada manusia sesuai dengan kader perbuatannya. Neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat syirik. Menurut Al-Maturidi, iman cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menanmbah atau mengurangi sifatnya saja.[135])

 

BAB III
PENUTUP
A.                  Kesimpulan
            Syiah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini Ali bin Abi Talib dan keturunannya sebagai pemimpin Islam setelah Nabi saw. Wafat
            Khawarij berarti orang-orang yang keluar barisan Ali bin Abi Thalib. Golongan ini menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang keluar dari rumah dan semata-mata untuk berjuang di jalan Allah. Meskipun pada awalnya khawarij muncul karena persoalan politik, tetapi dalam teapi dalam perkembangannya golongan ini banyak berbicara masalah teologis
            Aliran Murji’ah bisa bernama Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda persoalan konflik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan kaum Khawarij pada hari perhitungan kelak.
            Aliran Qadariyah yang menganggap bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya dan bukan nberasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Allah. Dalam sejarah perkembangan teologi Islam, tidak diketahui secara pasti kapan aliran ini muncul.
            Nama Jabariyah pada aliran Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung sarti memaksa. Smenurut al-Syahrastani, Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah.
            Aliran Mu’tazilah muncul sebagai reaksi atas pertentangan antar aliran Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai persoalan orang mukmin yang berdosa besar.
            Ahlussunah waljama’ah dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syiah.Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga  Asy’ariya masuk dalam barisan sunniSunni dalam pengertian khusus adalah mahzhab yang berada dalam barisanAsy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Selanjutnya, term Ahlussunah banyak dipakai setalah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.

B.                  Saran
            Sudah sepantasnya kita sebagai orang Islam mengetahui adanya aliran-aliran dalam Islam, dan mungkin makalah ini sangat cocok bagi kita untuk dijadikan sebagai pembelajaran tentang ilmu kalam atau tentang doktrin-doktrin, apalagi kita berada di lingkungan bebas yang di situ banyak aliran-aliran dan pemikiran menyimpang.



DAFTAR PUSTAKA
‘Abbas, Sirajuddin. 1977. I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
Al-Asy’ari, Abu al-Hasan Ali bin Ismail. 1950. Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin. Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah.
Al-Juwaini, Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam, Erlangga, Jakarta, 2007.
Al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad. T.th.  al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr.
Bazdawi, Abu Al-Yusr Muhammad, Al-, Kitab Usul ad-Din, Isa Al-Babi Al-Halabi, Kairo, 1963.
Hanafi, Ahmad. 1992. pengantar Theologi Islam. Jakarta: Al-Husna.
Izutsu, Toshiko. 1994. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Madjid, Nurcholis. “Masalah Ta’wil sebagai Metodelogi Penafsiran Al-Quran,” dalam kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah , Budhi (Ed.), Paramadina, Jakarta,1994.
Nasution, Harun.2010. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
Nurdin, M.Amin dan Afifi Fauzi Abbas. 2012. Sejarah pemikiran Islam. Jakarta : Amzah.
Rozak, Abdul. Anwar,Rosihan, Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2007.
Salihudin A, Nasir. 1991. Pengantar Ilmu Kalam.  Jakarta : Rajawali.
Sudarsono. 1977. Filsafat Islam. Jakarta: RINEKA CIPTA.
Thabathba’i, Muhammad Husain, Islam Syi’ah, Asal-Usul dan perkembangannya. Terj. Djohan Effendi. PT. Grafti Press, Jakarta, 1989.
Zahrah, Imam Muhammad Abu. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing House.
Zainuddin, H. Ilmu Tauhid Lengkap, PT RINEKA CIPTA, Jakarta, 1992.








[1] DR. Abdul Rozak, M.Ag. dan DR. Rosihon Anwar, M.Ag., Ilmu Kalam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2007),hal 89.
[2] M.H. Thabathaba’i, Islam Syi’ah, Asal-Usul dan perkembangannya. Terj. Djohan Effendi. PT. Grafti Press, Jakarta, 1989, hlm 37 dan 71.
[3]Tsuroya Kiswati Al-Juwaini, Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam (Jakarta: Erlangga, 2007), hal  41.
[4] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2007),hal 49.
[5] Rozak dan Anwar, loc.cit.
[6] Nasir Salihudin A,Pengantar Ilmu Kalam (Jakarta: Rajawali, 1991), hal 67.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:UI-Press, 2010), hal 13.
[8] Harun Nasution, loc.cit.
[9] Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1950), hlm 156
[10] Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Kairo: al-Halaby, t.th.), hlm 117. Lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, hlm 65.
[11] M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm 13.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:UI-Press, 2010), hal 14.
[13] Nurcholis Madjid, “Masalah Ta’wil sebagai Metodelogi Penafsiran Al-Quran,” dalam kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Budhi (Ed.), Paramadina, Jakarta,1994), hal 12.
[14] Ibid., hal 13.
[15] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hal 143.
[16] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 22.
[17] Ibid., hal 23.
[18] Nasution,op.cit., hal 24.
[19] Ibid., hal 25.
[20] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 56.
[21] Nasution,op.cit., hal 26.
[22] Ibid., hal 26-27.
[23] Ibid., hal 28.
[24] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 58.
[25] Ibid., hal 58-59.
[26] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 33.
[27] Ibid., hal 34.
[28] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 70.
[29] Nasution,op.cit., hal 33.
[30] Ibid., hal 34.
[31] Ibid.,
[32] Rozak dan Anwar, loc.cit.
[33] Nasution,op.cit., hal 33.
[34] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 73.
[35] Drs. H. Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1992), hal 45.
[36] Ibid., hal 46-47.
[37] K.H. Sirajuddin ‘Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1977), hal 230.
[38] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 39.                            
[39] Ibid., hal 39.
[40] Zainuddin, op.cit., 48.
[41] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 63.
[42] Rozak dan Anwar, loc.cit.
[43] Ibid., hal 65.
[44] Ibid., hal 67.
[45] Rozak dan Anwar, loc.cit.
[46] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 45.
[47] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 68.
[48] Rozak dan Anwar, loc.cit.
[49] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 49.
[50] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 69.
[51] Nasution,op.cit., hal 37.
[52] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 69.
[53] Ibid., hal 77.
[54] Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1977), hal 5.
[55] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 78.
[56] Ibid., hal 78.
[57] Nasution,op.cit., hal 44.
[58] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 79-80.
[59] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hal 151.
[60] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 80.               
[61] Ibid., hal 80-81.
[62] K.H. Sirajuddin ‘Abbas, op.cot., hal 197
[63] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hal 152.
[64] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 83.
[65] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hal 153.
[66] Imam Muhammad Abu Zahrah, loc.cit.
[67] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 80.
[68] Rozak dan Anwar, op.cit., hal 83.
[69] Ibid., hal 84.
[70] Ibid., hal 85.
[71] Sudarsono, op.cit., hal 7.
[72] Zainuddin, op.cit., 55.
[73] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hal 153.
[74] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 85.
[75] Imam Muhammad Abu Zahrah, loc.cit.
[76] Rozak dan Anwar, loc.cit.
[77] Toshiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal 53.
[78] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hal 154.
[79] Imam Muhammad Abu Zahrah, loc.cit.
[80] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 83-84.
[81] Nasution,op.cit., hal 46.
[82] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hal 8-9.
[83] Nasution,op.cit., hal 62.
[84] K.H. Sirajuddin ‘Abbas, op.cot., hal 30.
[85] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 119.
[86] Rozak dan Anwar, loc.Cit.
[87] Nasution,loc.Cit.
[88] Nasution, op.cit., hal 66.
[89] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 101.
[90] Ahmad Hanafi, pengantar Theologi Islam (Jakarta: Al-Husna, 1992), hal 104
[91] Rozak dan Anwar, op.Cit., hal 120.
[92] Nasution, op.cit., hal 66-67.
[93] Nasution, loc.cit.
[94] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 121.
[95] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 104.
[96] Ibid., hal 105.
[97] Rozak dan Anwar, op,Cit., hal 122.
[98] Nasution, op.cit., hal 71.
[99] Rozak dan Anwar, loc.Cit.
[100] Zainuddin, op.cit., 64.
[101] Sudarsono, op.cit., hal 11.
[102] Rozak dan Anwar, loc.Cit.
[103] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hal 200.
[104] K.H. Sirajuddin ‘Abbas, op.cot., hal 84.
[105] Imam Muhammad Abu Zahrah, loc. Cit.
[106] Sudarsono, op.cit., hal 12.
[107] Nasution, op. Cit., hal 68.
[108] Rozak dan Anwar, op.Cit., hal 123.
[109] Zainuddin, loc. Cit., hal 64.
[110] Nasution, op. Cit., hal 71.
[111] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 110.
[112] Nasution, loc.cit.
[113] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 110-111.
[114] Rozak dan Anwar, op.Cit., hal 124.
[115] Nasution, op. Cit., hal 76.
[116] Sudarsono, op.cit., hal 14.
[117] Nasution, op. Cit., hal 77.
[118] Rozak dan Anwar, op.Cit., hal 125.
[119] Nasution, op. Cit., hal 91.
[120] Rozak dan Anwar, loc.cit.
[121] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hal 213.
[122] Rozak dan Anwar, op.cit., hal 126-127.
[123] Rozak dan Anwar, op.cit., hal 127-128.
[124] Nasution, op. Cit., hal 113.
[125] Rozak dan Anwar, loc.cit.
[126] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 142.
[127] Nasution, op. Cit., hal 77.
[128] Rozak dan Anwar, op.cit., hal 128.
[129] Ibid., hal 129
[130] Nurdin dan Abbas, op.cit., hal 143.
[131] Rozak dan Anwar, op.cit., hal 129.
[132] Nasution, loc.cit.
[133] Sudarsono, op.cit., hal 14-15.
[134] Rozak dan Anwar, op.cit., hal 130.
[135] Rozak dan Anwar, op.cit., hal 131.